Habis Rempah Terbitlah Sawit (2)
“Setiap masa ada orangnya, setiap orang ada masanya.” Makna dari kalimat tersebut menekankan pentingnya menghargai kontribusi setiap individu dalam konteks waktu, namun juga menerima bahwa perubahan adalah bagian alami dari kehidupan. Setiap generasi memiliki peran yang berbeda sesuai dengan kondisi dan tantangan yang dihadapi pada zamannya. Lantas bagaimana jika kalimat tersebut ditujukan untuk suatu spesies tumbuhan tertentu?
Dari Rempah-Rempah ke Sawit
Sebelum kemunculan sawit, negara ini pernah berjaya dengan potensi sumber daya alam yang tak kalah penting, yakni rempah-rempah. Cengkeh, pala, kayu manis, lada dan sebagainya, yang tumbuh di Kepulauan Nusantara tersebut memiliki nilai yang sangat tinggi di pasar Eropa. Bahkan menjadi salah satu alasan utama mengapa bangsa Eropa datang dan menjelajahi Indonesia pada abad silam.
Rempah-rempah sangat diminati karena dianggap sebagai barang mewah dan banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Melalui peran rempah-rempah, negeri ini pernah menjadi bagian penting dari jaringan perdagangan global. Namun di sisi lain, hal ini juga memicu kolonisasi yang berkepanjangan. Bangsa Eropa, terutama Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang bermarkas di Belanda, berusaha memonopoli perdagangan rempah dan mengendalikan produksinya.
Seiring berjalannya waktu, masa kejayaan rempah-rempah sebagai komoditas unggulan itu perlahan mulai redup. Di atas panggung ekonomi, muncul pemain baru yang tak kalah menggiurkan, yakni kelapa sawit. Komoditas ini berhasil menggeser rempah-rempah sebagai komoditi unggulan di Indonesia. Walaupun diintroduksi dari Afrika, tetapi kecocokan iklim membuatnya tumbuh subur di Indonesia, bahkan sawit sendiri telah menjadi primadona bagi negara ini.
Saat ini, sawit memainkan peran strategis dalam perekonomian nasional dengan menyumbang devisa besar melalui ekspor. Indonesia bahkan menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Selain kontribusi terhadap sektor perekonomian, kelapa sawit juga menciptakan lapangan kerja bagi banyak penduduk, terutama di daerah-daerah penghasil sawit.
Dilansir Kompas.com (07/09/24) bertajuk “Agar Sawit Tak Redup Seperti Komoditas Perkebunan Lainnya”, dijelaskan bahwasanya industri sawit dan produk turunannya memberikan lapangan pekerjaan bagi 16 juta orang di seluruh penjuru Tanah Air. Sawit juga menjadi salah satu kontributor terbesar ekspor Indonesia, serta sebagai penyumbang utama devisa dan penerimaan negara.
Oleh karena itu, dapat dikatakan peralihan dari rempah-rempah ke sawit bukan hanya tentang perubahan tanaman, tetapi juga mencerminkan dinamika ekonomi, sosial, dan lingkungan di Indonesia. “Habis rempah terbitlah sawit” bukan hanya narasi tentang perubahan komoditas, melainkan juga cerminan dari adaptasi Indonesia dalam menghadapi dinamika global.
Sawit dan Kontroversinya
“Sejak tahun 2000-an, perkembangan sawit di Indonesia banyak mendapat serangan mengenai isu sustainability. Sawit menjadi sasaran kampanye internasional mengenai sustainability, baik yang dilakukan lembaga internasional, LSM internasional, hingga perusahaan multinasional” (Joko Priyono, Masih Berjayakah Sawit Indonesia: Menghadapi Tuntutan Sustainability Global, 2024).
Sawit banyak digambarkan sebagai produk yang merusak lingkungan, mengurangi area hutan, penghasil emisi, dan mengancam keanekaragaman hayati. Artinya, semua persoalan lingkungan yang terjadi di dunia ini, dibebankan semuanya kepada sawit sebagai penyebabnya. Kampanye hitam mengenai sawit ini diikuti dengan berbagai kebijakan di banyak negara Eropa dan Amerika untuk membatasi ekspor serta konsumsi minyak sawit.
Mengutip Kompas.id (08/09/21), berjudul “Kelapa Sawit Bukan Penyebab Utama Deforestasi Global”, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University Yanto Santosa mengemukakan, negara-negara di dunia sudah memanfaatkan sumber daya hutan untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Hal inilah yang menyebabkan laju deforestasi terus meningkat selama periode pembangunan dan mulai turun saat proses tersebut selesai.
Walaupun menjadi sasaran kampanye hitam, namun pemanfaatan lahan untuk tanaman minyak nabati secara global, merujuk ourworldindata.org tahun 2022, penggunaan lahan untuk perkebunan sawit berada di urutan kelima, sebesar 30,02 juta ha. Kedelai berada di posisi puncak (133,79 juta ha), disusul rapeseed, cottonseed, dan kacang tanah. Walau penggunaan lahan tergolong kecil, tetapi produksi minyak sawit justru lebih tinggi, yaitu 80,58 juta ton, sementara kedelai dan rapeseed masing-masing 60,32 dan 20,47 juta ton.
Oleh karena itu, sekali lagi, mengutip Joko Supriyono (2024) dalam bukunya, ia menjelaskan bahwasanya kampanye anti-sawit tidak murni digerakkan oleh komitmen untuk menyelamatkan bumi, alih-alih lebih menonjol dilatarbelakangi oleh motif ekonomi. Yang terjadi pada titik ini adalah peragaan strategi perang dagang negara-negara maju yang tidak menginginkan produk kelapa sawit menguasai dunia.
Terlepas dari berbagai persoalan yang mengepung sawit hari ini. Sejak 2011 pemerintah Indonesia telah menerbitkan regulasi tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO), yang kemudian direvisi menjadi Permentan No.11/Permentan/T.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Melalui ISPO, Indonesia berkomitmen terhadap industri sawit nasional yang ramah lingkungan dan bertanggung jawab.
Baca Juga: Revolusi Sebatang Jerami
Indonesia juga terdaftar sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Sebagai organisasi yang menerapkan standar global untuk pengelolaan minyak sawit berkelanjutan. Namun, Pereira (2021) dalam penelitiannya berjudul RSPO Certification in Indonesia: A Complex Case of Global Environmental Governance, mengatakan sejak awal terbentuknya standar tersebut, sudah ada tujuan untuk mengamankan kepentingan pihak-pihak tertentu, sehingga tak terelakkan lagi ada pihak lain yang dirugikan.
Demikian, jika dahulu Indonesia dikenal sebagai “surga rempah-rempah” yang memikat bangsa Eropa, kini Indonesia hadir sebagai raksasa dalam industri kelapa sawit dunia. “Habis rempah terbitlah sawit” menggambarkan bagaimana perjalanan bangsa Indonesia dari masa kolonial hingga saat ini. Sekaligus menjadi gambaran bahwasanya negara ini menyimpan segudang keanekaragaman tumbuhan yang akan mencuat ke permukaan seiring perubahan dan tuntutan zaman.
Comments