Conservation Dialogue: Upaya Mahasiswa KVT IPB Membangun Kesadaran Ekologis*
Dialog
konservasi dan gathering menjadi ajang yang berharga untuk menyatukan berbagai
perspektif dan pengalaman dalam upaya melindungi alam. Dengan menghadirkan
beragam pemikiran dan pengetahuan, dialog ini menciptakan ruang untuk diskusi
terbuka, pertukaran ide, dan pembentukan kemitraan yang kuat untuk tindakan
konservasi yang berkelanjutan.
Atas
dasar itu, pada Sabtu (18/05), Himpunan Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Konservasi
Biodiversitas Tropika (KVT), Institut Pertanian Bogor, menggelar Musyawarah
Besar dan Gathering, guna menciptakan ruang diskusi terbuka, saling bertukar
ide dan gagasan, sekaligus membangun keakraban antar mahasiswa dan dosen.
Bertempat di Ruang
Audiovisual Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, kegiatan yang mengusung tema
“Conservation Dialogue: Konservasi untuk Pembangunan Berkelanjutan” ini diikuti
oleh sejumlah mahasiswa, dosen, maupun para pelaku yang terlibat dalam
aksi-aksi konservasi. Turut hadir dalam kegiatan tersebut Kepala Balai Besar
TNGGP yang diwakili Kepala Bagian Tata Usaha Dr. Anggit Haryoso, S. Hut, M. Sc
dan Bambang Suprayogi sebagai CEO Yagasu.
Mengawali
sesi dialog, Prof. Dr. Ir. Yanto Santosa, DEA selaku Ketua Program Studi KVT,
dalam sambutannya mengucapkan terima kasih pada pihak-pihak yang terlibat, baik
pihak TNGGP dan Yayasan Gajah Sumatra (Yagasu) dalam kegiatan tersebut.
Alumnus
University Paul Sabatier, Prancis tersebut juga menyampaikan bahwa acara Conservation
Dialogue yang diadakan mahasiswa Konservasi Biodiversitas
Tropika ini adalah ajang untuk membangun keakraban antar mahasiswa agar saling
mengenal satu sama lainnya.
“Karena
menggabungkan dan menyatukan berbagai insan itu tidak mudah”, tambahnya.
Hal
senada diutarakan oleh Bambang Suprayogi, menurut CEO Yagasu tersebut, program
konservasi yang awalnya hanya sekadar perlindungan, namun sekarang paradigma
tersebut sudah berubah yaitu memanfaatkan, sehingga dapat memberikan nilai
tambah bagi masyarakat.
“Partisipasi
masyarakat tidak bisa hanya dididik tapi harus diikat. Di samping itu,
konservasi harus memberi nilai tambah bagi masyarakat”, ujar Bambang Suprayogi.
Lebih
lanjut, sosok yang pernah menempuh studi di Murdoch University, Perth,
Australia tersebut menekankan bahwa konservasi itu bukan hanya untuk spesies
dilindungi atau kawasan dilindungi, tetapi spesies dan kawasan yang tidak
dilindungi juga harus di jaga dan dilestarikan.
Di
saat bersamaan, Kepala Balai Besar TNGGP yang diwakili oleh Kepala Bagian Tata
Usaha, Dr. Anggit Haryoso, S.Hut, M.Sc dalam kesempatannya memaparkan terkait
Tantangan dan Strategi dalam Pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Anggit
Haryoso yang juga alumnus Kehutanan IPB menambahkan bahwa pengelolaan taman
nasional harus sesuai dengan karakteristik masing-masing.
Khusus
untuk TNGGP, pengelolaannya disesuaikan dengan 5 (lima) prinsip yang telah
ditetapkan, yaitu: mengetahui potensi dari setiap jengkal wilayah kerja,
mengetahui kondisi (trend dan sebaran dari potensi), mengetahui program
intervensi pengelolaan berdasarkan data akurat, mengetahui tipologi masyarakat,
serta memanfaatkan nilai kemanfaatan kawasan untuk kelestarian kawasan, masyarakat
dan bangsa.
Memasuki
sesi diskusi, sejumlah mahasiswa yang hadir dalam kegiatan tersebut sangat
antusias untuk menyampaikan pendapatnya.
Salah
satunya Kemal Muhsandi, mahasiswa yang berasal dari Kendari tersebut dalam
kesempatannya mengungkapkan kegelisahannya bahwa kebanyakan program konservasi
lebih banyak berfokus pada kawasan atau desa-desa di dekat hutan, sementara
upaya yang sama di kota masih sangat minim, padahal masyarakat kota merupakan
penyumbang terbesar perubahan iklim.
Berbeda dengan
Kemal, Anisa Munthe, mahasiswa asal Sumatera Utara yang mendalami penelitian
terkait ekowisata mengungkapkan bahwa ekowisata kadang dianggap merusak alam,
padahal ekowisata memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi masyarakat.
Di
penghujung acara, Dr. Arzyana Sunkar, M.Sc sebagai perwakilan dari dosen
memaparkan bahwa upaya konservasi juga harus didekati dengan
pendekatan-pendekatan sosial. Ia juga mengharapkan ke depan konservasi harus
menggunakan ukuran kesejahteraan sebagai indikator keberhasilan.
Kegiatan
yang berlangsung dengan penuh keakraban tersebut dilanjutkan oleh Prof. Yanto
dengan menyimpulkan beberapa poin penting terkait Conservation
Dialogue yang harus ditindaklanjuti.
Menurut
alumnus University Paul Sabatier, Prancis tersebut, konservasi harus
kolaboratif serta mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat. Sosok yang suka
bercanda dengan mahasiswanya tersebut juga menekankan bahwa konservasi jangan
dilihat hanya sebagai cost center, tetapi sebagai profit center.
Kegiatan yang berlangsung kurang lebih dua jam tersebut diakhiri dengan pemberian cenderamata oleh panitia pada narasumber, sekaligus foto bersama.
* Tulisan ini pernah dimuat pada rubrik liputan Sentranews.id, edisi 18 mei 2024
Comments