Kuliah Bersama Rakyat: KKN di Desa Wadas*
Kegiatan yang berlangsung pada
Sabtu (17/12/2022) di desa Wadas, Purworejo itu dihadiri Dr. M. Busyro Muqoddas
(Ketua PP Muhammadiyah Periode 2022-2027), Dr. Rina Mardiana (akademisi IPB
University), Dr. Herlambang P. Wiratraman (akademisi Universitas Gadjah Mada,
sekaligus Penasehat KIKA), dan kalangan mahasiswa dari berbagai kampus.
Mengawali kuliah bersama rakyat,
M. Busyro Muqoddas dalam sambutan singkatnya mengatakan bahwa kuliah akhir
tahun yang diselenggarakan oleh KIKA ini adalah kampus terbuka yang disaksikan
oleh alam. Lebih lanjut, menyoal polemik pertambangan Wadas, dosen Universitas
Islam Indonesia tersebut menambahkan bahwa dunia kampus dan
organisasi-organisasi non-pemerintah akan terus membersamai warga Wadas dalam
mempertahankan ruang hidup mereka.
“Bersama-sama, Muhammadiyah,
WALHI, dan teman-teman mahasiswa dari berbagai kampus akan terus mendampingi
Bapak dan Ibu, baik diminta maupun tidak, karena itu kewajiban kami,” tutur
mantan ketua KPK tersebut.
Kegiatan yang berpusat di salah
satu rumah warga itu dihadiri oleh seluruh lapisan masyarakat desa Wadas yang
merasa haknya dirampas dan dirugikan atas kehadiran pertambangan andesit.
Mbah Marsono selaku warga Wadas
yang hadir sebagai narasumber dalam kegiatan tersebut mengharapkan dukungan
dari seluruh warga Wadas dan berbagai pihak untuk sama-sama menjaga lingkungan
di desa tersebut, agar senantiasa tetap lestari sampai ke anak cucu kelak.
Karena banyak sekali pihak-pihak yang terus mengganggu, merebut, dan mau
merusak alam yang ada di desa Wadas.
“Allah menciptakan alam itu harus
dilestarikan, diambil manfaatnya seperti makan, itu sudah cukup buat nafkahi
anak cucu kita, sampai sekarang juga masih hidup, tapi kalo misalnya dijual,
itukan hanya berapa hari aja uang itu pasti habis, terus kita mau bagaimana?”
sesal Marsono.
Di saat yang bersamaan, mewakili
kaum perempuan desa Wadas, Mbak Anis yang juga narasumber dalam Kuliah Bersama
Rakyat tersebut memaparkan bahwa kaum perempuan dan ibu-ibu di Wadas juga ikut
melibatkan diri dalam aksi menolak tambang. Tujuan mereka adalah membersamai
bapak-bapak dan kaum muda untuk berjuang mempertahankan ruang hidup, yang
secara turun-temurun terus memberikan keberkahan dan mencukupi kebutuhan hidup
mereka.
“Harapan kami untuk para
akademisi, KIKA, para mahasiswa, dan Solidaritas Indonesia, agar panjenengan semua
bisa mengawal kasus kami, mengawal kasus Wadas ini sampai tuntas dan menang,”
kata Anis,
Lebih lanjut, sosok perempuan
yang tergabung dalam Wadon Wadas ini mengingatkan bahwa jangan sampai apa yang
kami dapat sekarang, anak cucu kami tidak akan mendapatkannya lagi. Untuk itu,
desa Wadas harus tetap utuh dan lestari. Sehingga, di hari esok, anak cucu kami
kelak akan selalu mengenang leluhurnya sebagai pejuang lingkungan, bukan
dikenang sebagai perusak lingkungan dan alam yang indah ini.
Peran Penting Kalangan Akademisi
Pembicaraan mengenai peran
akademisi menjadi penting mengingat kondisi Indonesia dewasa ini. Berbagai
masalah nasional yang dihadapi begitu kompleks dan tidak kunjung selesai.
Termasuk salah satunya adalah polemik perampasan lahan untuk pertambangan di
desa Wadas. Oleh karena itu, adanya Kuliah Bersama Rakyat menjadi sebuah
gerakan yang sangat penting untuk memberi penyadaran dan pemahaman pada
masyarakat.
Dr. Herlambang P. Wiratraman,
yang juga pioneer terbentuknya KIKA, dalam kesempatannya menjelaskan bahwa
Kuliah Bersama Rakyat telah dimulai sejak tahun 2017. Gagasan ini lahir sebagai
bentuk menciptakan hubungan yang harmonis antara dunia kampus dengan
masyarakat. Juga sebagai cara mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Dosen-dosen dan mahasiswa tidak
boleh berjarak dengan masyarakat. Untuk itu, ketika ada masalah di kampung,
sudah seharusnya dunia kampus terlibat membantu dan membentengi hak
masyarakat,” ujar pria berkacamata tersebut.
Terkait persoalan perampasan
lahan untuk pertambangan di desa Wadas, Dosen Fakultas Hukum UGM itu menganggap
praktek tersebut bagian dari pembangunan otoritarianisme, karena menjadikan
manusia sebagai objek eksploitasi dari pembangunan. Praktek pembangunan yang
tidak menghargai manusia dan tidak melindungi hak asasi manusia, termasuk tidak
melindungi hak masyarakat atas lingkungan yang bersih dan sehat.
Sebelumnya, Rina Mardiana, Dosen
IPB University ini juga menguraikan beberapa keganjilan yang terjadi dan
menimpa warga Wadas. Salah satunya yakni tanah yang sah dan legitimate harusnya
diberikan sertifikat, tetapi khusus untuk lokasi yang akan dijadikan lokasi
pertambangan malah ditahan. Padahal, telah dilakukan Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap (PTSL) dari Badan Pertanahan Nasional di tahun 2017.
Peneliti Pusat Studi Agraria IPB
itu dalam penyampaiannya juga mengatakan bahwa bahasa perjuangan hari ini tidak
cukup dengan advokasi, tetapi juga harus dengan data yang valid dan otentik.
Oleh karena itu, jaringan perguruan tinggi, teman-teman NGO, dan berbagai
elemen harus bersinergi.
Perempuan yang akrab disapa Rina
tersebut menyesalkan bahwasanya tanah Wadas ini diwariskan para leluhur sebagai
tanah yang subur. Sementara di luar sana, yang dikampanyekan dan
dipropagandakan bahwa tanah Wadas itu tanah yang gersang, tanah yang isinya
bebatuan. Karena itu supaya produktif maka harus dijadikan tambang saja. Ini
sebuah kekeliruan besar, penyesatan publik.
Kuliah Bersama Rakyat yang
berlangsung di tengah-tengah rimbunnya pepohonan desa Wadas itu diakhiri dengan
penampilan para seniman Wadas yang menyanyikan beberapa tembang-tembang
perlawanan.
* Tulisan ini pernah dimuat di website Rumah Baca Komunitas (RBK) Yogyakarta
Comments