Kita, Kota, dan Tikus

Hal yang paling kita benci soal tikus yaitu kotor, beranak banyak, kegigihan bertahan hidup yang tak dapat dimungkiri, adalah sifat yang juga bisa dilekatkan pada kita. Kekotoran tikus sebenarnya kekotoran kita, tikus makan sampah yang dibuang sembarangan.

Sumber masalahnya kita, manusia. Kita tidak menjaga kebersihan sarang kita, kata ahli rodentologi Now York, Bobby Corrigan, sebagaimana dilansir dari majalah National Geographic Indonesia (April, 2019).

Berkaitan dengan perencanaan sebuah kota, secanggih dan semegah apapun dibangun tidak akan bisa terhindar dari keliaran tikus-tikus liar. Terlebih di kawasan kumuh perkotaan yang padat penduduk. Di saat manusia mulai meninggalkan rutinitasnya untuk beristirahat, giliran kawanan tikus-tikus mulai menampakkan wajahnya.

Ketika manusia sepanjang rutinitasnya menghasilkan banyak sampah, khususnya sampah sisa-sisa makanan. Di saat itu pula kawanan tikus-tikus akan mulai berkumpul merayakan pesta pora atas melimpahnya makanan.

Banyaknya tikus yang terus berkembang biak dan menjadi pemandangan yang lumrah disetiap sudut kota tidak terlepas dari perilaku manusia. Penumpukan sampah yang tidak terkendali di pemukiman-pemukiman warga, rumah makan, hotel, maupun restoran menjadi penyebab cepatnya perkembangbiakan tikus. 

Artinya, semakin banyak populasi tikus kota yang meningkat sejalan dengan meningkatnya jumlah produksi sampah, terutama sampah sisa makanan di kota tersebut. Hal ini merupakan cerminan dari perilaku manusia yang tidak menjaga kebersihan lingkungan.

Tercemarnya lingkungan akibat produksi sampah yang terus meningkat setiap tahun bukanlah sebuah persoalan yang baru. Tetapi yang membuat miris dari jumlah sampah yang terus meningkat tersebut adalah jenis sampah sisa-sisa makanan. Berdasarkan ulasan M. Faizi dalam buku Merusak Bumi Dari Meja Makan (2020) yang dikutip dari National Geographic Indonesia (Maret, 2016), bahwa limbah makanan yang dibuang orang, jika dikumpulkan dan dijadikan sebuah negara, akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan Amerika Serikat.

Berdasarkan sumber Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, dilansir mediaindonesia.com (Januari, 2020), sampah makanan orang Indonesia jika dikumpulkan dalam satu tahun jumlahnya mencapai 1,3 juta ton.  Jumlah sampah makanan tersebut ternyata mampu menghidupi 11% penduduk atau 28 juta penduduk miskin yang kurang mendapat asupan gizi.

Sungguh menjadi sebuah ironi, ketika sebagian orang harus menahan lapar karena tidak ada makanan yang bisa dimakan dan tak punya gambaran dimana bisa mendapatakan sepotong makanan. Di waktu yang bersamaan sisa-sisa makanan bahkan menjadi sampah yang menumpuk ditempat pembuangan sampah.

Betapa mirisnya melihat bumi yang dipenuhi oleh sampah sisa-sisa makanan ditengah ancaman krisis pangan yang terus meneror. "Ibarat menepuk air di dulang percik muka sendiri", peribahasa tersebut sangat pantas dialamatkan untuk menggambarkan perilaku manusia saat ini.

Di tengah kelebihan bahan makanan, kita terkadang membuang sisa-sisa makanan karena tidak habis dimakan. Sisa-sisa makanan yang kita buang kemudian menjadi tumpukan sampah yang membuat sudut kota menjadi kotor. Karena tikus menyukai tempat-tempat yang kotor dan dipenuhi tumbukan sampah, maka tumpukan sampah sisa makanan yang kita buang tersebut mengundang kawanan tikus-tikus untuk berkumpul. Selanjutnya, secara tidak langsung terjadi interaksi antara manusia dan tikus.

Pada titik inilah, tikus terkadang menularkan penyakit pada manusia atau dikenal dengan istilah zoonosis (penyebaran penyakit dari hewan ke manusia).

Sebagaimana Yuval Noah Harari dalam Homo Deus: Masa Depan Umat Manusia (2018), dijelaskan bahwa di zaman yang serba kecukupan manusia mati bukan disebabkan karena kelaparan, kebanyakan manusia mati disebabkan karena obesitas. Pada awal abad ke-20, lebih banyak kemungkinan manusia mati akibat McDonald dan KFC ketimbang akibat kekeringan, Ebola, atau serangan al-Qaeda. Ia juga menjelaskan bahwa sepanjang sejarah umat manusia, matinya manusia dalam jumlah jutaan disebabkan karena ancaman dari wabah.

Jika kita menyempatkan diri untuk merenungkan perilaku kita selama ini. Ketika kita tidak mengolah sampah dengan baik, kita akan terganggu dengan keberadaan sampah itu sendiri. Kota yang dipenuhi tumpukan sampah, menyebabkan kota tersebut menjadi tidak nyaman ditinggali. Dan kumpulan kawanan tikus-tikus yang menyukai tumpukan sampah, terutama sampah sisa-isa makan akan mengancam kesehatan kita. Tanpa disadari, kita dalam perencanaan membunuh diri sendiri.

Diakhir tulisan ini, penulis mengutip perkataan dari Emma Maris yang mengatakan bahwa “tikus adalah diri bayangan kita, kita tinggal dipermukaan kota, tikus tinggal di kolong kota, kita bekerja siang hari, tikus bekerja malam hari, hampir semua tempat yang ditinggali manusia, tikus juga tinggal di sana”.

Comments

Popular posts from this blog

Suara Alam

Jejak Waktu dalam Pesona Sari Ayu: Sebuah Perayaan

Konservasi Sejak dalam Pikiran