Ekofeminisme: Memahami Alam dan Perempuan
"Bumi adalah manusia, batunya sebagai tulang, tanah sebagai daging, airnya sebagai darah, dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut" - Mama Aleta, Aktivis Perempuan dan Lingkungan NTT
Istilah ekofeminisme pertama kali digunakan oleh Francoise
D'Eaubonne pada tahun 1974 melalui karyanya "Le Feminisme ou la Mort"
(Feminisme atau Kematian), selanjutnya pada tahun 1987 istilah tersebut kembali
dipopulerkan oleh Karen J. Warren melalui "Feminism and Ecology: Making
Connection" yang berusaha untuk menunjukan hubungan antara semua bentuk
penindasan manusia, khususnya antara perempuan dan alam.
Namun, Maria Mies dan Vandana Shiva (1998) yang berhasil
melakukan rekonstruksi pandangan ini. Mereka mengawinkan antara prinsip ekologi
dan feminisme dalam melawan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Paradigma
yang dipakai dan menjadi dasar perjuangan ekofeminisme adalah pandangan dan
ideologi yang ramah sesama manusia dan lingkungan.
Menurut Rosemarie P. Tong (2006) dalam Ekofeminisme: Kritik
Sastra Berwawasan Ekologi dan Feminisme menyebutkan, ekofeminisme memandang
bahwa perempuan secara kultural dikaitkan dengan alam. Ada hubungan konseptual,
simbolik dan linguistik antara feminisme dan isu ekologi. Dalam paradigma ini,
alam berada dalam prinsip feminin.
Harmoni antara alam dan manusia mendorong terjadinya
kesinambungan ontologis antara manusia dan alam. Pada tataran prinsip feminin,
alam dipersepsikan dan dimaknai sebagai sumber penghidupan. Dan perempuan,
dalam imajinasi dan praktiknya secara khusus memiliki keahlian dalam mengelola
alam sebagai penopang dalam keberlangsungan hidup.
Perempuan dianggap sebagai pemelihara kehidupan, yang memiliki
kemampuan dalam memproduksi dan mereproduksi kehidupan. Pada kemampuan kaum
perempuanlah prinsip lestari dan keberlanjutan bisa diwujudkan. Kaum perempuan
memainkan peran paling sentral dan signifikan dalam usahanya menjaga
keberlanjutan dan keahliannya sebagai penyedia sumber pangan.
Maria Mies (1986) dalam buku Bebas Dari Pembangunan:
Perempuan, Ekologi dan Perjuangan Hidup di India menyebutkan bahwa kegiatan
perempuan dalam menyediakan pangan sebagai produksi kehidupan dan memandangnya
sebagai hubungan yang benar-benar produktif dengan alam, karena perempuan tidak
hanya mengumpulkan dan mengonsumsi apa yang tumbuh di alam, tetapi mereka
membuat segala sesuatu menjadi tumbuh. Proses pertumbuhan secara organis, yang
di dalamnya perempuan dan alam bekerja sama sebagai mitra, telah menciptakan
suatu hubungan khusus antara perempuan dan alam.
Namun, pada saat ini perempuan kehilangan peran produktifnya.
Kehidupan kaum perempuan telah tercerabut dari akar filosofisnya sebagai
penyangga kehidupan. Ia digantikan tenaga mesin yang dalam kelipatannya mampu
memproduksi komoditas sebanyak mungkin untuk meningkatkan nilai tambah dari
kerja produksi. Di samping itu secara sosial, kaum perempuan dan masyarakat
lokal mengalami demoralisasi melalui kebijakan dan investasi yang diciptakan
oleh negara.
Hal demikian tak lain dan tak bukan karena paradigma
pembangunan yang sama sekali tidak sensitif ekologi bahkan kerap dijumpai bias
gender. Perempuan selalu ditempatkan sebagai pihak yang tidak berdaya dan tidak
punya pengetahuan. Sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam proses pegambilan
keputusan dalam hampir semua pengambilan kebijakan pembangunan. Pengetahuan
perempuan tentang tubuhnya, tentang relasi tubuh perempuan dengan kekayaan
alam, serta pengetahuan perempuan, baik individu maupun kolektif tidak masuk
dalam agenda pembangunan.
Pemisah-misahan di dalam alam dan antara manusia dan alam, dan
perubahan yang mengiringinya dari gugus kehidupan yang berkelanjutan ke
penjarahan sumber daya alam menjadi karakteristik pandangan Cartesian yang
telah menggantikan cara pandang dunia yang ekologis. Hal ini juga menciptakan
sebuah paradigma pembangunan yang melumpuhkan alam dan perempuan secara
bersamaan.
Akibatnya, menurut pandangan ekofeminisme, alam juga melakukan
perlawanan, sehingga setiap hari manusia pun termiskinkan sejalan dengan
penebangan pohon di hutan dan kepunahan binatang spesies demi spesies. Untuk
menghindari terjadinya itu semua, maka menurut pandangan ekofeminisme, manusia
harus memperkuat hubungan satu dengan yang lain dan hubungan dengan dunia
selain dunia manusia (Tong, 2006).
Dalam merebut kembali hak kelola perempuan terhadap alam dan
upaya pembalikan krisis ekologi, ekofeminisme yang menjadi proyek epistemik
mencoba mengungkapkan selubung ideologis ilmu pengetahuan maskulin yang obsesi
terhadap alam dan perempuan. Ekofeminisme berpegang pada premis bahwa
kemunculan krisis ekologi tak bisa dilepaskan dari cara pandang androsentrisme
yang serba maskulin, mendominasi, memanipulasi dan eksploitatif terhadap
perempuan dan alam.
Dari uraian di atas tampak bahwa ekofeminisme berada dalam dua
disiplin yang saling berkaitan, yaitu ekologi yang memfokuskan perhatian pada
isu-isu alam dan lingkungan, dan feminisme yang memberikan perhatian secara
khusus pada isi-isu gender.
Sebagai aliran pemikiran dan gerakan sosial, ekofeminisme
mengidealkan adanya sikap dan tindakan manusia yang memberikan perhatian
terhadap alam dan perempuan.
Karena, dalam kerahiman perempuan, lahir dan tumbuh
kehidupan-kehidupan baru. Begitu pun bumi (alam), melahirkan dan menumbuhkan
kehidupan yang baru pula. Di sini, dapat kita garis bawahi bahwa alam dan
perempuan sebenarnya adalah sumber penghidupan dengan sistem produksi dan
reproduksinya. Alam sebagai rahim dan perempuan yang memiliki rahim adalah
kekuatan untuk berlangsungnya energi kreatif kehidupan. Jika itu semua
dimatikan maka musnah sudah kehidupan di dunia ini.
Singkatnya, feminitas dan ekologi di satu sisi dan feminitas
dan entitas di sisi lain adalah kesatuan yang alami, saling menyatukan dan
dalam kehidupan nyata keduanya sama dan sebangun. Keduanya adalah bagian dari
perjuangan yang lebih luas untuk mencapai endogenitas di dalam dunia yang
terancam oleh tekanan dari modernisasi yang menuntut homogenitas.
.......
Comments