Skolstrejk för Klimatet, Suara dari Greta Thunberg


Skolstrejk för Klimatet,
demikian kalimat yang memiliki arti “mogok sekolah untuk perubahan iklim” ini menjadi semakin populer di seantero dunia setelah Greta Thunberg, sosok gadis berusia belasan tahun menuliskannya dalam sebuah spanduk berukuran kecil, yang ia bawa saat melakukan aksi demonstrasi di depan gedung parlemen Swedia. Berkat aksinya tersebut, kini gadis yang di vonis dokter mengidap sindrom Asperger itu dikenal dunia sebagai salah satu aktivis lingkungan muda.

Melihat sepak terjang seorang Greta hingga dikenal sebagai salah satu aktivis lingkungan paling berpengaruh di dunia, sebenarnya tak terlepas dari kehidupan masa kecil yang ia lalui. Dalam lingkup keluarga misalnya, kedua orang tuanya telah mengajarkan dan membiasakan Greta Thunberg kecil untuk lebih menghemat listrik dan tidak menggunakan kertas secara berlebihan, demi mencegah perubahan iklim. Hal-hal kecil dan sederhana yang dibiasakan dalam keluarganya tersebut, secara tidak langsung berhasil menanamkan benih-benih kecintaan seorang Greta terhadap kelestarian Bumi, terutama pada isu perubahan iklim.

Memasuki dunia pendidikan, Greta juga diajari gurunya terkait perubahan iklim. Hal ini membuat Greta tampak sedih dan terus berpikir tentang perubahan iklim, serta dampak negatifnya sepanjang waktu. Remaja yang juga seorang vegetarian ini akhirnya menyadari bahwa dia bisa melakukan sebuah perubahan. Jika orang dewasa tidak melakukan sesuatu untuk masa depan, anak-anaklah yang harus bergerak melakukan perubahan. Sebab, generasi muda (anak-anak) yang akan hidup di masa depan.

Tak ingin tenggelam dalam kesedihan, Greta pun semakin serius dalam menyikapi dan menyuarakan isu perubahan iklim. Hal ini dibuktikannya dengan melakukan aksi di depan gedung Parlemen Swedia pada Agustus 2018 silam.  Dalam aksi tersebut, ia membawa sebuah spanduk bertuliskan “Skolstrejk För Klimatet” dan berteguh hati untuk tetap duduk di depan gedung parlemen setiap hari sampai penyelenggaraan pemilihan umum Swedia diadakan. Dengan slogan bertajuk Friday for Future, Greta sering bolos sekolah untuk melakukan aksi tersebut, menyuarakan keprihatinannya akan perubahan iklim yang semakin nyata.

Greta yang awalnya melakukan aksi sendirian ini akhirnya mendapat dukungan dari teman-temannya, bahkan aksi yang mereka lakukan berhasil mengundang perhatian publik. Alhasil, demonstrasi yang dimotori gadis bernama lengkap Greta Tintin Eleonora Ernman Thunberg ini pun mendapat sorotan media. Seluruh dunia mendengar suara yang digelorakannya. Ia pun hadir sebagai motivator yang memotivasi remaja di negara lain dalam melakukan hal serupa, menyuarakan kegelisahannya terhadap ancaman krisis iklim, mengajak semua orang melakukan aksi penyelamatan bersama terhadap bumi sebelum terlambat.

Sampai saat ini, aksi yang dilakukan Greta setidaknya telah melibatkan jutaan anak sekolah. Mogok sekolah untuk iklim – Jumat untuk masa depan – telah memperlihatkan siswa dari seluruh dunia meninggalkan ruang kelas untuk protes damai yang bermakna. Gerakan yang dimula pada bulan Agustus 2018 itu menarik perhatian media, dan pada bulan November 2018, 17 ribu siswa di 24 negara yang berbeda ikut serta dalam aksi mogok sekolah pada hari Jumat. Bahkan, pada Maret 2019, hampir 2 juta siswa di 135 negara memprotes perubahan iklim. Selanjutnya, pada bulan Agustus di tahun yang sama, jumlah orang yang melakukan aksi demonstrasi untuk planet ini mencapai 3,6 juta.

Berkat keprihatinannya, Greta meraih banyak penghargaan dan diundang menjadi pembicara di ajang UN Climate Talks di Polandia, serta di World Economic Forum di Swiss. Selain itu, Greta juga menjadi nominasi penerima hadiah perusahan listrik Telge Energi untuk anak-anak dan orang muda yang mempromosikan pembangunan berkelanjutan. Pernah menjadi pemenang kompetisi penulisan artikel debat Svenska Dagbladet mengenai iklim untuk kaum muda pada 2018. Bahkan, putri pasangan Malena Ernman dan Svante Thunberg ini pada tahun 2019 masuk dalam nominasi peraih Nobel Perdamaian.

Di tengah-tengah ancaman krisis iklim yang semakin nyata, Greta Thunberg hadir sebagai remaja perempuan yang mampu membangkitkan kesadaran anak-anak muda lain di seluruh dunia. Ia adalah seorang anak muda yang mengutuk egoisme dan mencari keadilan (keadilan iklim). Remaja yang dinobatkan sebagai Person of the Year 2019 versi majalah Times itu membuktikan bahwa tak perlu menunggu tua untuk dapat memberikan manfaat kepada dunia.

Narasi-narasi yang disuarakan secara konsisten oleh Greta Thunberg, menyatakan bahwa generasi tua seharusnya bertanggung jawab dan patuh disalahkan atas masifnya kerusakan iklim dan lingkungan yang telah merugikan generasi masa kini, sekaligus akan membahayakan generasi masa depan. Karenanya, aktivis muda ini menuntut transformasi dalam sistem yang kini berlaku, demi masa depan mereka dan generasi selanjutnya yang terancam oleh krisis iklim.

Terkait ancaman krisis iklim, sebagian dari kita sering kali menganggap sepele perubahan iklim. Apalah artinya kenaikan suhu bumi 1,5oC. Tapi kenaikan permukaan air laut karena pemanasan global tidak hanya menggeser kita lebih jauh ke daratan akibat tenggelamnya pulau-pulau pesisir, tetapi juga memusnahkan tempat kehidupan bagi ratusan juta manusia bersama peradaban yang telah terbangun ribuan tahun lamanya. Perubahan iklim juga meningkatkan intensitas dan frekuensi bencana alam.

Mirisnya lagi, ancaman krisis iklim melahirkan kesenjangan bagi manusia itu sendiri. Fakta ini dapat dilihat dari mereka yang berkontribusi paling sedikit terhadap krisis iklim seringkali menjadi yang paling berdampak, atau yang dikenal dengan ketidakadilan iklim. Krisis iklim adalah ancaman bagi semua orang, tetapi beberapa komunitas harus menghadapi resiko yang lebih besar karena di mana mereka tinggal, kesehatan mereka, pendapatan, dan kemampuan mereka untuk mengakses sumber daya. Dengan kata lain, ketidakadilan iklim memberikan kontribusi yang tidak merata dari dampak krisis iklim.

Memerangi ketidakadilan iklim, kita semua diperlukan dalam hal ini. Karena, bagaimana pun juga kita bisa mengalahkan ketidakadilan iklim di komunitas kita sendiri, sama seperti bagaimana kita tidak bisa memerangi krisis iklim hanya sendiri. Melawan krisis iklim membutuhkan gerakan skala besar yang dimulai dalam diri kita sebagai individu, karena kekuatan individu terbesar adalah mengumpulkan suara kolektif.

Sebagaimana dibahasakan Arne Naess, filsuf yang mengembangkan pemikiran deep ecology (ekologi dalam), terkait solusi bagi krisis lingkungan termasuk di dalamnya krisis iklim. Hanya dapat dilakukan dengan perubahan pola dan gaya hidup kita sebagai manusia. Pola dan gaya hidup yang didasarkan pada kesadaran tentang pentingnya menjaga dan memelihara lingkungan hidup. Namun, Naess menekankan bahwa yang dibutuhkan adalah perubahan pola dan gaya hidup dalam cakupan yang lebih luas, yaitu perubahan pola dan gaya hidup sebagai sebuah masyarakat.

Untuk itu, Greta telah membunyikan alarm, menabuh genderang perang, mengajak seluruh pelajar dan masyarakat pada umumnya untuk bersatu melawan krisis iklim. Bagi Greta, seluruh penduduk bumi harus memiliki pemahaman yang sama soal perubahan iklim juga dampak negatifnya, sama seperti Naess menganjurkan perubahan pola dan gaya hidup ramah lingkungan dalam cakupan yang lebih luas, yaitu masyarakat.

Comments

Popular posts from this blog

Suara Alam

Jejak Waktu dalam Pesona Sari Ayu: Sebuah Perayaan

Konservasi Sejak dalam Pikiran