Seyyed Hossein Nasr, Islam, dan Spiritual Ekologis
Persoalan relasi manusia dengan alam tidak pernah selesai dalam kenyataan hidup kita. Isu lingkungan hidup terus menggelisahkan umat manusia di planet bumi ini. Asumsi utama penyebab krisis alam disebabkan oleh ulah manusia, karena pola pikirnya yang materialistis, antroposentris, saintisme, gaya hidup konsumtif hingga kebijakan pembangunan yang tidak ramah lingkungan.
Jika dicermati, krisis ekologi terkait pula dengan pandangan
manusia terhadap alam. Pandangan ini membentuk perilaku manusia terhadap
lingkungannya, baik perilaku yang berdampak pada peningkatan keserasian
hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya, maupun sebaliknya. Manusia
memiliki tanggung jawab terhadap alam dan mahluk hidup lain, dengan
mengedepankan prinsip-prinsip yang secara moral mengatur bagaimana manusia
mengelola atau menggunakan sumber daya alam dan lingkungannya.
Melalui jalan pikiran tersebut, maka mengatasi krisis ekologi
tidak semata soal teknis belaka, tetapi perlu ditelusuri seluk-beluk spiritual
manusia, pandangan hidupnya, kesadaran terhadap alam, dan perilaku ekologisnya
yang tetap menjaga keseimbangan alam.
Karena konsekuensinya, ketika manusia
mengeksploitasi alam secara sewenang-wenang. Manusia dan alam akhirnya
sama-sama rusak, sama-sama hancur, sama-sama bergerak ke ambang kepunahannya.
Di titik ini, manusia hidup penuh dengan resonansi melodi kegelisahan jiwa yang
tidak berujung tepi.
Berkaitan dengan nilai spiritual manusia, dalam konteks agama,
khususnya Islam, terdapat nilai dan ajaran yang kaya akan spiritualitas. Islam
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata bagi pencegahan krisis
spiritualitas yang pada ujungnya akan menyebabkan krisis lingkungan. Sebagai
salah satu agama besar, Islam diharapkan mampu menyadarkan pemeluknya untuk
senantiasa menjaga alam melalui ajaran-ajarannya.
Berangkat dari persoalan lingkungan alam yang terus mengemuka itu,
memancing para filosof untuk mengurai disequilibrium yang terjadi. Salah satu
intelektual Islam yang aktif memberikan kontribusi pemikirannya tentang nilai-nilai
spiritual dalam mengurai krisis lingkungan adalah Seyyed Hossein Nasr. Pemikiran
tokoh ini tentang lingkungan pada intinya adalah mengkritisi ilmu pengetahuan
Barat yang telah tercerabut dari akar filosofisnya. Dan berupaya memberi tawaran
metodologi sains untuk mengatasi dan menangani permasalahan ekologis perspektif
Islam.
Seyyed
Hossein Nasr menawarkan dua agenda yang harus dicermati dan dilaksanakan, yaitu
merumuskan kembali nilai-nilai kearifan perenial Islam mengenai tatanan dan
konsep tentang alam, hubungan alam dengan manusia, telaah kritis terhadap ilmu
pengetahuan modern, dan signifikansi ilmu pengetahuan dalam Islam yang
merupakan hal yang integral dalam tradisi intelektual Islam.
Pemikir kelahiran Taheran, Iran ini berpendapat bahwa hilangnya
pengetahuan metafisik adalah penyebab hilangnya harmoni antara manusia dengan
alam, dan berdasarkan fakta bahwa pengetahuan ini hampir terlupakan di Barat
meskipun terus hidup dalam tradisi Timur. Maka, ke dalam tradisi Timur inilah,
orang harus mengalihkan perhatiannya untuk menemukan kembali signifikansi alam
metafisik dan menghidupkan kembali tradisi metafisik di dalam agama (Nasr,
2021).
Senada dengan Nasr, dalam upaya menemukan kembali signifikansi
alam metafisik, J.E. Brown, penulis The Spiritual Legacy of American Indian (1964),
mengemukakan bahwa penemuan kembali pengetahuan metafisika, revitalisasi
teologi dan filsafat alam, dapat membatasi penerapan sains dan teknologi.
Hanya dengan kebangkitan kembali konsepsi spiritual tentang alam
yang didasarkan pada doktrin metafisik dan intelektual, ada harapan untuk
menetralisasi kegemparan yang ditimbulkan oleh penerapan sains modern; ada
harapan untuk mengintegrasikan sains ini ke dalam sebuah perspektif yang lebih
universal.
Dengan
penemuan kembali pengetahuan metafisik, kita dapat menjadi manusia spiritual
ekologis. Manusia spiritual ekologis dapat kita terapkan dengan berkomitmen
untuk memiliki pandangan yang melampau realitas fisik ini. Itu dapat kita capai
dengan memiliki pemahaman spiritual yang tinggi berbasis agama dan nilai
spiritualitas. Manusia spiritual ekologis berisikan spirit kesatuan dengan
segala entitas lain dalam alam.
Menjadi
manusia spiritual ekologis, berarti kita hadir sebagai “setitik oase” yang
menumbuhkan optimisme hidup dan membangkitkan fajar harapan bahwa kita manusia
bisa mengonstruksikan model interaksi yang lebih ideal (baik dan adil) dengan
komunitas lingkungan ekologis di mana saja kita berada.
Karena bagaimana pun, tidak mungkin ada perdamaian antar orang
kecuali jika ada perdamaian dan harmoni dengan alam. Dan agar dapat menciptakan
perdamaian dan harmoni dengan alam, orang harus berharmoni dan berselaras
dengan langit, dengan sumber dan asal-usul segala mahluk (Nasr, 2021). Inilah
yang dimaksud Seyyed Hossein Nasr dengan menumbuhkan nilai-nilai spiritualitas.
Atau, sebagaimana dinyatakan dalam ajaran Taoisme: “Jalan manusia
ditentukan oleh jalan di bumi, jalan di bumi ditentukan oleh jalan di langit,
jalan di langit ditentukan oleh jalan Tao, dan Tao berasal dari dirinya sendiri
(Nasr, 2021). Jadi, langit adalah cerminan asas tertinggi dan bumi adalah
cerminan langit. Hal inilah yang hanya bisa dicerna oleh spiritual.
Sebagai
paragraf penutup, hanyalah kerendahan hati yang dibutuhkan oleh manusia modern
untuk mengakui adanya spiritualisme alam sebagai realitas yang melampaui yang
fisik. Kerendahan hati untuk mengakui dimensi spiritual alam, akhirnya menjadi
suatu iman filosofis teologis kita dalam ikhtiar menjadi manusia spiritual ekologis
dalam tatanan alam dunia yang terus berevolusi ini.
Comments