Menuju Era Emas Negara Agraris
Sederet persoalan di sektor pertanian sampai saat ini masih menghantui upaya Indonesia untuk mengembangkan sektor pertanian yang lebih tangguh di masa akan datang. Adalah maraknya konversi dan alih fungsi lahan, degradasi, fragmentasi, dan adanya ketimpangan kepemilikan lahan. Selain persoalan-persoalan yang telah disebutkan di atas, salah satu permasalahan yang tak kalah penting adalah tidak adanya regenerasi petani.
Terkait alih fungsi lahan pertanian, perlu diketahui bahwa lahan pertanian merupakan modal alam yang tak bisa disubstitusikan, baik dengan modal finansial maupun bentuk modal lain. Teknologi vertical farming dan pertanian presisi secanggih apa pun tidak akan mampu mengatasi masalah sempitnya lahan pertanian rakyat dan tak layaknya rerata skala usaha tani.
Sementara itu, minimnya regenerasi petani disinyalir karena minimnya generasi muda untuk berprofesi sebagai petani. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS (2021), petani umum saat ini adalah petani generasi baby boomers yang lahir pada 1946-1964 dan generasi X yang lahir pada 1965-1980. Generasi petani ini sudah menua, hampir 70 persen berumur lebih dari 50 tahun serta 80 persen berpendidikan dasar, paling tinggi SMP.
Sebagai negara agraris, otomatis mayoritas penduduknya bekerja sebagai petani. Bagaimana tidak, Indonesia memiliki 1,9 juta kilometer persegi daratan yang mayoritas tanahnya sangat cocok digunakan sebagai lahan pertanian. Sudah sepantasnya jika sektor pertanian menjadi potensi besar yang dapat dimanfaatkan masyarakat Indonesia. Namun, alih-alih menjadi potensi besar yang dimanfaatkan, sektor pertanian di Indonesia malah menjadi sektor yang tidak diminati oleh para tenaga kerja Indonesia.
Padahal, sektor pertanian merupakan tulang punggung penggerak ekonomi negara dan juga berperan penting dalam perkembangan suatu bangsa. Bagaimana tidak, untuk memberi makan ±270 juta jiwa penduduk Indonesia, kita membutuhkan sekian banyak petani untuk mengolah lahan pertanian yang telah disediakan, sedangkan profesi sebagai petani pun lambat laun mulai ditinggalkan karena terjadinya peralihan pekerjaan dari sektor agraris ke sektor jasa dan industri. Persoalan makin rumit ketika lahan pertanian pun terus menyusut.
Fenomena ini akan menjadi tantangan tersendiri, mengingat bangsa Indonesia melalui Kementerian Pertanian berupaya mewujudkan Indonesia sebagai lumbung pangan dunia pada 2045.
Dilansir Kompas (20/07/23), setiap tahun terjadi rata-rata 130.000 hektar lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian untuk pengembangan infrastruktur jalan tol, bandara, pelabuhan, daerah industri, perkantoran, perumahan (real estate), pertokoan, dan lainnya. Balai Besar Penelitian dan pengembangan Sumber Daya Lahan (BBSDLP) Bogor juga memprediksi pada 2045 Indonesia hanya akan memiliki 5,1 juta hektar lahan baku sawah. Kondisi ini mengkhawatirkan, apalagi alih fungsi tersebut diikuti pula dengan degradasi lahan sebagai dampak pemakaian pupuk kimia pestisida sehingga menurunkan kesuburan fisik tanah.
Industrialisasi Sektor pertanian
Jika kita menengok ke belakang, sejatinya sektor pertanian merupakan salah satu sektor unggulan pada masa orde baru di bawah kepemimpinan presiden Soeharto. Di era 90-an inilah, Indonesia pernah mengalami kejayaan dalam sektor pertanian, yaitu berhasil dalam swasembada beras. Namun sayang, masa jaya tersebut hanya bertahan beberapa tahun saja hingga akhirnya Indonesia masuk ke dalam krisis pertanian yang jika tidak cepat diatasi akan semakin meradang.
Krisis pada sektor pertanian di Indonesia tidak berhenti sampai di situ, bahkan semakin mencuat penduduk negeri ini, semakin besar pula kebutuhan pangan yang perlu dipasok sehingga jalan impor dipilih sebagai solusi atas persoalan yang tak berujung tersebut. Mengimpor kebutuhan pangan bisa saja dilakukan terus menerus, akan tetapi hal ini tidak berdampak baik bagi negara kita.
Sistem hidup yang konsumtif adalah sikap yang tidak baik. Jika negeri ini terus menerus menjadi negeri konsumtif, yang ada akan timbul masalah baru yaitu menurunnya sumber daya manusia (SDM) karena isi pikiran mereka bukan usaha memenuhi kebutuhan, melainkan bergantung kepada orang lain dalam pemenuhan kebutuhan.
Kesuksesan swasembada beras di era Orde Baru semestinya menjadi pelajaran pada sektor pertanian dalam membangun Indonesia. Pertanian menjadi isu dan misi yang strategis dalam perencanaan pembangunan nasional. Kebijakan sosial di sektor pertanian harus memenuhi unsur pemerataan dan kemakmuran bagi petani. Bangsa Indonesia harus menjaga potensi yang ada dan berusaha agar produktifitas sektor ini semakin tinggi dan secara perekonomian semakin bernilai.
Sektor agraris harus memiliki nilai penting bagi bangsa. Sektor pertanian butuh perhatian dan kemudahan untuk kemudahan rakyat. Banyak problem yang harus dipahami dan didalami, agar ke depan sektor agraris menjadi sektor unggulan bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tetapi juga bagi dunia. Karena bukan tidak mungkin sektor pertanian bisa lebih mahal dari pada emas, karena pangan adalah kebutuhan utama manusia.
Perlu disadari bahwa sejarah perjalanan bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa sektor agraris merupakan keunggulan bangsa kita di dunia, sektor ini sangat memikat karena menguntungkan dari segi perekonomian.
Untuk itu, pada tahun 2013, lahirlah Undang-Undang tentang perlindungan pemberdayaan petani dalam bentuk asuransi. Jika ada kejadian yang tidak diinginkan maka pemerintah wajib menggantikan kerugian masyarakat. Pemerintah juga wajib mendirikan bank khusus yang menangani permodalan pertanian. Hal lainnya, kemudahan lahan bagi petani melalui pemanfaatan lahan bebas milik negara dan juga harus membentuk lembaga ekonomi petani.
Comments