Krisis Ekologi Berkelanjutan, Sampai Kapan?
Kepedulian akan kelestarian lingkungan hidup mulai marak dikampanyekan akhir-akhir ini. Keprihatinan melihat kondisi bumi yang semakin terdegradasi akibat ulah manusia memicu aksi dari berbagai pihak untuk sama-sama mencari solusi guna menyelamatkan krisis berkepanjangan yang melanda planet bumi.
Perhatian terhadap kelestarian lingkungan tidak saja
datang dari pihak pemerhati lingkungan, mengingat permasalahan lingkungan hidup
adalah persoalan yang sangat kompleks.
Maka, menjawab kompleksitas persoalan lingkungan pun
membutuhkan perhatian dari berbagai pihak. Tidak mengherankan, jika kini banyak
kalangan yang menaruh perhatian terhadap isu-isu ekologi.
Poin penting yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini
adalah bahwa selama ini minset berpikir kita cenderung mengadopsi cara-cara
berpikir kapitalistik.
Cara berpikir yang mengajarkan kita untuk terus
mengejar pertumbuhan ekonomi tiada henti. Cara berpikir yang mengajarkan kita
sepanjang waktu bahwa hanya pertumbuhan ekonomi yang dapat membuat kehidupan
menjadi lebih baik.
Otto Soemarwoto dalam bukunya Ekologi,
Lingkungan Hidup dan Pembangunan (1991), menjelaskan bahwa dalam usaha memperbaiki
mutu hidup, harus dijaga agar kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan
pada tingkat lebih tinggi tidak menjadi rusak. Sebab kalau kerusakan terjadi, bukannya
perbaikan mutu hidup yang dicapai, melainkan justru kemerosotan.
Lebih lanjut, James Gustave Speth dalam Lingkungan
Hidup dan Kapitalisme menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi boleh jadi
agama sekuler yang dianut dunia, tapi bagi sebagian besar belahan dunia ini
adalah dewa yang gagal.
Di samping itu, ia juga menambahkan bahwa dorongan tiada
akhir untuk menumbuhkan perekonomian di Amerika Serikat secara keseluruhan
telah melemahkan masyarakat dan lingkungan (F. Magdof & J.B Foster, 2018).
Gagasan dari dua tokoh di atas, terkait dengan
pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan, memberikan pandangan serta
membuka wawasan kita bahwasannya pertumbuhan ekonomi tidak bisa tumbuh secara
tak terbatas pada lingkungan yang terbatas. Artinya, perekonomi akan runtuh
jika kondisi lingkungan semakin terdegradasi.
Analoginya, jika sumber daya alam terus dieksploitasi
dengan dalil untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan aspek
ekologi, maka kondisi lingkungan akan semakin rusak. Hal ini akan menyebabkan
krisis ekologi berkelanjutan. Alih-alih ingin mengimplementasikan pembangunan
berkelanjutan yang terjadi justru pengrusakan yang berkelanjutan.
Di era sekarang, di mana kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang semakin pesat, pemanfaatan teknologi untuk menggeruk semakin
banyak sumber daya alam dapat dilakukan dalam waktu yang relatif singkat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang diharapkan dapat menjadi solusi
bagi krisi ekologi, justru digunakan sebagai media untuk mengeksploitasi alam dengan
semakin intensif.
Terkait teknologi, kapitalisme senantiasa mendukung
teknologi tertentu yang memperbesar laba, akumulasi dan pertumbuhan
ekonomi.
Karena teknologi bertujuan memuaskan pertumbuhan,
kapitalisme cenderung memilih teknologi-teknologi yang memaksimalkan asupan
sumberdaya dan energi secara keseluruhan demi kepentingan menggenjot keluaran
ekonomi secara keseluruhan.
Dalam konteks Indonesia, sebagai salah satu negara di
dunia yang menyimpan cadangan sumber daya alam melimpah dari baik di daratan
maupun lautan.
Pengeksploitasian atas sumber daya alam semakin marak
dilakukan. Pembukaan hutan secara besar-besaran untuk perkebunan kelapa sawit,
serta Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terus dikeluarkan oleh pemerintah
setempat semakin memperkuat dugaan bahwa untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi
hanya dapat dilakukan dengan pengeksploitasian sumber daya alam yang tersedia.
Satu hal yang perlu disadari bahwa selama ini kita
selalu dimanjakan dengan kekayaan sumberdaya alam yang tersedia, sumber daya
alam yang keberadaanya suatu saat pasti habis. Sehingga lupa untuk mengembangkan
sumber daya manusia sebagai investasi jangka panjang yang tidak akan pernah
habis.
Plato (427-347 SM) pernah mengatakan, bukti apa yang
bisa kita tawarkan bahwa (tanah di sekitar Athena) saat ini hanyalah sisa-sisa
gersang dari yang sebelumnya? Yang tersisa bagimu (dengan pulau-pulau kecil)
mirip dengan rangka yang dagingnya telah habis dimakan penyakit, lapisan tanah
gembur dan kaya telah habis, tak meninggalkan apa-apa selain kulit dan tulang.
Melihat Indonesia dari pemikiran Plato di atas maka, sebagai saran untuk para elit pengambil kebijakan di negeri ini harus lebih berhati-hati dalam menentukan arah pembangunan. Supaya Indonesia akan datang bukanlah sisa-sisa gersang hari ini, bukan pula lapisan tanah gembur dan kaya yang telah habis. Karena yang kita kejar adalah pembangunan berkelanjutan, bukannya krisis berkelanjutan.
Comments