Vandana Shiva, Pohon, dan Perempuan
Bagi masyarakat awam jika membaca atau mendengar kata hutan maka akan terbayang dalam benak mereka adalah sekumpulan pohon-pohon yang rimbun di suatu lokasi. Memang hutan bukan sekedar pohon.
Karena di dalam
hutan juga terdapat banyak keanekaragaman mahluk hidup. Tetapi pohon adalah
vegetasi utama penyusun hutan tersebut. Maka dari itu, dalam tulisan ini
penulis menggunakan kata "pohon" untuk menggantikan kata
"hutan" dalam menjelaskan berbagai peristiwa yang terus terjadi
hingga detik ini, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan
secara berlebihan sehingga berujung pada semakin terdegradasinya kualitas
lingkungan.
Berbicara
mengenai pohon, tidak bisa dipungkiri bahwa saat ini dunia sedang mengalami
masa-masa krisis pohon. Setiap tahunnya, pohon ditebang sebanyak 15 juta
unit.
Lahan pun
demikian, lahan yang musnah dikabarkan sebesar 18 juta hektar pohon (Lux,
2019). Sementara itu, World Wildlife Fund (WWF) mencatat,
rata-rata setiap tahun Indonesia kehilangan 1,1 juta hektar hutan.
Sedangkan, Forest
Watch Indonesia menyebut bahwa Indonesia tahun 1970 hingga 1990 mengalami
penurunan 1,2 juta hektar hutan per tahun. Sementara pada 2000 hingga 2009,
laju penggundulan hutan di negeri ini 1,5 juta hektar per tahun.
Melihat semakin
menurunnya jumlah vegetasi pohon sebagai penyangga hutan akibat eksploitasi
yang berlebihan, kiranya perhatian dari berbagai pihak sangat diharapkan demi
menghentikan pengeksploitasian yang terus berlanjut, terutama kesadaran dan
kepedulian masyarakat akan pentingnya peranan pohon bagi kehidupan.
Karena pohon
merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang kaya akan manfaat dan
keberadaan pohon sangat membantu mengatasi pemanasan global (global warming)
yang terjadi.
Mengingat sangat
pentingnya peranan pohon bagi kehidupan. Maka menurut Sudharto P. Hadi dalam
buku Bunga Rampai Manajemen Lingkungan (2014), menjelaskan bahwa keberadaan
pohon dan hutan sangat membantu sebagai pencegah erosi, pengatur tata air,
penyedia sumber air, penyedia oksigen, habitat berbagai flora dan fauna,
penjaga kestabilan iklim, penyedia keanekaragaman hayati, pelindung dari
sengatan panas matahari dan sebagai penyediaan obat-obatan tradisional.
Tidak hanya itu,
dalam konteks global pohon sangat berguna untuk aspek sosial dan ekonomi
manusia. Kayu yang dihasilkan dari pohon memiliki peran krusial terhadap
kebutuhan sehari-hari umat manusia seperti membuat kursi, meja, dan berbagai
peralatan lainnya. Produk yang terbuat dari pohon inilah yang berguna untuk
keberlangsungan aktivitas jual beli manusia dan lain sebagainya. Hal itu bisa
kita lihat dari manfaat pohon sebagai komponen hutan. Sekali kita tanam dan
tumbuh, ia akan memberikan banyak manfaat.
Urgensi pemugaran
pohon dalam skala besar-besaran juga sudah disadari oleh manusia sejagat raya.
Dalam sudut pandang rimbawan, pemulihan pohon berfungsi untuk penegakan
fungsi-fungsi pohon seperti produksi kayu dan perlindungan tanah. Di sisi lain,
kaum konservatif juga menganggap bahwa pemulihan pohon berguna untuk
mengembalikan lahan pohon yang sudah terdegradasi.
Oleh karena itu
untuk menghadapi krisis jumlah pohon di muka bumi, diperlukan peran aktif
manusia dalam memulihkan lahan yang sudah gundul. Hadirnya partisipasi manusia
selama proses pembebasan lahan pohon dapat melindungi alam, mempertahankan
spesies langka, dan menjaga komposisi ekosistem agar terus stabil.
Terkait peran
penting pohon bagi kehidupan seluruh mahluk hidup di muka bumi, terdapat peran
penting kaum perempuan dalam berjuang demi melestarikan pohon terhadap
tindakan-tindakan yang mengancam kelestarian pohon. Berbagai aksi dari kaum
perempuan di berbagai belahan dunia dalam melakukan perlawanan terhadap
korporasi-korporasi yang berusaha mengeksploitasi pohon terus digalakkan.
Praktek
pembalakan liar (illegal logging), konversi hutan menjadi areal perkebunan
monokultur seperti perkebunan kelapa sawit, pembangunan infrastruktur dan
aktivitas pertambangan serta berbagai kegiatan eksploitasi yang menjadikan
pohon sebagai sasaran pengrusakan, telah menghilangkan lebih dari jutaan hektar
hutan yang terus berlangsung hingga saat ini.
Jika ditilik
secara historis, perlawanan kaum perempuan dalam mempertahankan hutan dan pohon
untuk menyelamatkan bumi telah banyak bermunculan. Salah satunya adalah Vandana
Shiva, seorang ahli ilmu fisika, feminis, dan berlatar belakang ekologi dari
India. Kehadiran Vandana Shiva sebagai perempuan yang peduli akan kelestarian
pohon berhasil menggerakkan kaum perempuan di India untuk menolak keberadaan
perusahan pulp and paper yang terus beroperasi dan mengeksploitasi
kekayaan hutan di distrik Wayabula, India.
Selain berhasil
dalam menghentikan pengoperasian perusahan kertas, Vandana Shiva juga hadir
sebagai salah satu tokoh perempuan yang mengupayakan perlu adanya dekonstruksi
terhadap dominasi prinsip maskulinitas dan menawarkan pemikiran alternatif,
yaitu gabungan antara pemikiran ekologi dan feminisme yang disebut
ekofeminisme.
Ekofeminisme
lahir untuk menjawab sebuah kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada
kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan untuk melestarikan
lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam yang berkelanjutan (Yaqin,
2005).
Prinsip feminin
memandang bahwa perempuan dan alam memiliki hubungan khusus sebagai mitra yang
dalam proses pertumbuhannya dibangun secara organis. Perempuan dianggap sebagai
pemelihara kehidupan, yang memiliki kemampuan dalam memproduksi dan
mereproduksi kehidupan.
Pada kemampuan
kaum perempuanlah prinsip lestari dan keberlanjutan bisa diwujudkan. Kaum
perempuan memainkan peran signifikan dalam usahanya menjaga keberlanjutan dan
keahliannya sebagai penyedia sumber pangan (Mies, 1986). Selanjutnya, bagi
Vandana Shiva, bukunya Staying Alive: Women, Ecology and Development,
mengatakan bahwa urusan lingkungan seolah-olah hanya milik laki-laki.
Padahal perempuan
mempunyai peranan yang sangat penting dan vital dalam pengelolaan lingkungan,
dan perempuan pula yang mempunyai pengetahuan mendalam dan sistematis mengenai
proses-proses yang terjadi di alam, bahkan ia menganggap bahwa hancurnya alam
berarti hancurnya prinsip feminitas (Shiva, 1989).
Peran kaum
perempuan dalam upaya menjaga dan melestarikan pohon sebagai salah satu sumber
kehidupan, seperti yang dicontohkan oleh Vandana Shiva merupakan salah satu
bentuk kepedulian merawat bumi yang seharusnya diwarisi oleh kaum-kaum
perempuan.
Terlebih
perempuan yang hidup saat ini di tengah maraknya pengrusakan hutan oleh
perusahan-perusahan yang tidak memperhatikan dampak operasinya terhadap kondisi
lingkungan.
Kaum perempuan
harus menjadi motor penggerak dalam menyuarakan aksi penyelamatan lingkungan.
Jangan sampai perjuangan perempuan terjebak dalam perdebatan politik maskulin
yang hanya bicara soal manusia dan perluasan penguasaannya, tetapi juga
bagaimana melestarikan dan merawat kehidupan.
Karena, dengan pengalamannya dan pengetahuan tentang alam, perempuan lebih mampu melihat secara realistis dan menjaga hubungan dengan alam. Hal ini karena dari perempuan, kehidupan bermula dan berlangsung.
Comments